Selasa, 27 Agustus 2013

Gus Dur Juga Manusia



05/April/2008
Oleh : Imam Muhlis
Publik yang rajin menyimak dan membaca beberapa tulisan di media massa yang menyikapi atraksi politik KH. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur yang kini sedang berseteru dengan ponaannya sendiri—Muhaimin Iskandar—politikus muda asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang harus rela lengser dari posisi Ketua Dewan Tanfidz PKB adalah semuanya bermuara pada mendukung sosok Gus Dur, ada pula yang abu-abu, dan tidak ada sama sekali yang mengkritisi Gus Dur. Langkahnya yang kadang dianggap aneh tetapi pada akhirnya banyak orang  ikut membenarkan dan mengamini, bahkan ada yang bilang Gus Dir itu waliyullah. Benarkah demikian? Bukankah Gus Dur juga Manusia? Bukan Nabi maupun Malaikat yang maksum.
Mari kita sima beberapa tulisan di media massa yang menyikapi sosok Gus Dur dan konflik PKB. M. Alfan Alfian, misalnya, di harian Kompas (31/03) berjudul “Gonjang-ganjing Pilitik PKB”, hanya menyikapi seputar konflik dan masih dominannya figur Gus Dur di internal PKB. Ada yang berjudul “Ayat-Ayat Gus Dur”, sebagaimana yang ditulis Dhimam Abror, tapi ia lebih memilih aman yaitu: wallahu a’lam dalam menyikapi konflik Gus Dur dan Muhaimin Iskandar (Kolom Surya, 30/03). Ada juga tulisan yang bernada mengamini konflik Gus Dur. Dengan adanya konflik, Gus Dur justru semakin teruji dan terbukti, bahwa Gus Dur mampu mengatasi setiap konflik tersebut dengan “kemenangan” berada di pihaknya. Sebagaimana yang ditulis Zudi Setiawan, salah satu Dosen di Universitas Wahid Hasyim Semarang, dengan judul  “Gus Dur, Konflik, dan Kepemimpinan” (Wawasan, 03/04).
Berbeda dengan tulisan Zainul Munasichin, Mantan Ketua DKN Garda Bangsa Jatim. Ia sedikit agak kritis dalam menyikapi manuver-manuver politik Gus Dur, terutama konflik di internal partai asuhan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang  kini sedang meruncing itu. Dalam tulisan yang berjudul “Neraca Politik Gus Dur”, Zainul memaparkan secara kronologis konflik politik Gus Dur. Menurutnya, satu-satunya kemenangan politik Gus Dur dalam enam tahun terakhir ini hanyalah dalam kasus perseteruan PKB melawan Mathori, Alwi Shihab dan Choirul Anam. Meminjam istilah sepak bola, semuanya kemenangan kandang. Selebihnya untuk partai tandang Gus Dur bisa dikatakan kalah total (Surya, 04/04).
Yang lebih menarik lagi adalah tulisan saudara Jabir Alfaruqi di harian Suara Merdeka (02/03), dengan judul Dipecat Gus Dur Itu Rahmat”. Manarik karena menurut sauadara Jabir, sungguh sangat beruntung orang-orang yang selama ini dekat dengan Gus Dur kemudian ditendang dari sisinya, termasuk di balik pemecatan Muhaimin Iskandar. Itu semua merupakan rahmat.
Masih menurut sauadara Jabir Alfaruqi, sejumlah orang dekat atau bahkan disebut-sebut sebagai anak emas Gus Dur yang telah lebih dahulu dilengserkan, justru sekarang meraih prestasi yang spektakuler dan banyak partai lain yang berminat untuk melamarnya. Pemecatan Saifullah Yusuf, misalnya, kini bisa diterima di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), begitu juga yang dialami Khofifah Indar Parawangsa yang hari ini justru dicalonkan PPP dalam Pemilihan Gubernur Jatim. Begitu juga dengan nasib Alwi Shihab yang sekarang menjadi utusan khusus Presiden SBY untuk kawasan Timur Tengah. Prestasi itu diraih setelah dilengserkan Gus Dur dari PKB.
Pertanyaannya, benarkah di balik pemacatan sejumlah petinggi PKB, mulai dari Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan, dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol—merupakan rahmat dan mengandung barokah sebagaimana yang diasumsikan para penulis di atas? Bagi para pendukungnya mungkin itu benar, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur itu mengandung barokah, bahkan menjadi jimat penyemangat yang cukup ampuh.
Namun tidak demikian bagi para pengkritiknya, Gus Dur justru disebut-sebut sebagai politisi “semau gue”, yang cenderung otoriter maupun tanpa dasar alias demokrat dalam tingkat “mulut” tapi tidak dalam laku. Bahkan Gus Dur dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan PKB dalam melakukan terobosan politik yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat Indonesia.
Memang, para pengagum Gus Dur atau Gus Durian selama ini sering kali menganggap apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur selalu dianggap sesuatu yang mutlak dan haram untuk dilanggar walaupun petuah politik itu sangat tendensius berdasarkan kepentingannya, atau like or dislike.
Seperti biasanya, mereka yang membangkang terhadap petuah itu selalu terancam posisinya, lalu digolongkan sebagai “santri bandel”. Dan siapa yang tersingkir, tidak ada yang bernyali atau menang dalam menghadapi Ketua Dewan Syuro PKB Gus Dur (baca: Zudi Setiawan).
Partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu memang unik dalam memposisikan Gus Dur. Tokoh kharismatik NU tersebut dinilai sama dengan PKB atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai AD/ART-nya PKB itu sendiri.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa  Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam keberlanjutan PKB. Dan para Gus Durian pun belum bisa beranjak dari jebakan “feodalisme” dan figurisme yang menjadi bagian dari kultur NU itu sendiri. Maklum, orang-orang PKB umumnya orang NU yang berambisi masuk arena politik dengan membawa atribut budayanya, sebagai sandaran dan orientasi tindakannya pada figur-figur tertentu.

Pertanyaannya, kondusifkah bagi PKB ke depan apabila kecenderungan figurisme semacam itu, yang berakhir dengan pemecatan demi pemecatan tetap dilestarikan? Jelas tidak! Konflik antar pengurus partai politik (parpol) memang merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi karena berkaitan dengan loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik—tabayun dalam istilah Nahdatul Ulama (NU).
Karena itu, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat disayangkan, di samping karena menjalang Pemilu 2009, juga karena kelahirannya dibidani oleh para tokoh NU yang seharusnya menjadi garda depan dalam memberikan contoh kehidupan berdemokrasi. Penggusuran Muhaimin Iskandar memang urusan internal PKB. Tetapi melihat positioning PKB sebagai salah satu aset kebangsaan, selayaknya mewarisi keluhuran sikap kenegarawanan sebagai ekspresi yang patut dicontoh oleh rakyat.
Memang, kita sangat memahami bahwa Gus Dur adalah seorang pemikir besar dan seorang guru bangsa yang kerapkali mengambil langkah yang sulit ditafsirkan banyak orang. Tetapi, bukankah Gus Dur juga manusia—bisa salah bisa benar. Demikian pula pencopotan Muhaimin Iskandar, belum dikatahui secara benar dan pasti, ramai-ramai pada ikut membenarkan dan mengamini Gus Dur. Sekarang, Gus Dur masih sadang bertarung melawan keponakannya sendiri. Jika Muhaimin yang benar dan menang, maka saran banyak orang agar Gus Dur kembali ke barak alias ke pondok pesantren dan lebih berkosentrasi menjadi guru bangsa layak dipertimbangkan. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar