Minggu, 25 Agustus 2013

Anarkisme Berkedok Demokrasi

Oleh: Imam Muhlis
(Staf Pada Padepokan Musa Asy’arie  “Padma Jogjatama” Yogyakarta)
Demokrasi dikubur atas nama demokrasi (Gatra, 11/12/2008)”. Pernyataan Ahmad Syafii Maarif ini telah menemukan wujud paling telanjang dalam perjalanan bangsa dan negara ini. Atas nama demokrasi, nyawa Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Aziz Angkat harus dikubur (Wawasan, Selasa 3/2). Itulah potret demokrasi di negeri ini yang berubah menjadi praktik anarkisme demokrasi.
Sejak reformasi 1998 hingga sekarang bangsa ini memang sangat gemar mempertontonkan aksi-aksi anarkisme, premanisme, dan tindak kekerasan lainnya atas nama demokrasi. Bahkan perilaku barbarisme itu kian hari kian meningkat dipertontonkan secara atraktif di ruang publik. Masih segar dalam ingatan kita ketika para elite politik di Senayan juga pernah menunjukkan perilaku yang memalukan di ruang sidang yakni caci-maki, bahkan tindakan brutal yang menjurus ke adu-jotos pun dilakukan.
Fenomena tersebut merupakan cermin gagalnya berdemokrasi di era reformasi setelah cukup lama terpasung dalam kultur politik otoritarian Orde Baru. Atas nama demokrasi hak orang lain diperkosa yang sesungguhnya hanyalah cermin nafsu merusak dan membunuh. Demokrasi sering dimaknai sebagai kebebasan menyampaikan keinginan. Dengan dalih demokrasi, perilaku kekerasan, keberingasan, dan ingin menang sendiri pun acap kali dilakukan.
Sungguh memalukan dan sekaligus memilukan. Bangsa ini kini sama sekali tidak menggambarkan sosok bangsa yang dikenal sopan-santun, ramah, dan saling menghargai. Bahkan demonstran seolah-olah sah berperilaku merusak. Demonstrasi yang sejatinya merupakan instrumen demokrasi dalam sekejab berubah menjadi malapetaka. Itulah ironi demokrasi yang melahirkan anarki demokrasi.
Masyarakat dengan mata telanjang menyaksikan sendiri baik melalui media cetak maupun elektronik yang tergambar justru perilaku kasar dan anarkis dari orang-orang yang berperilaku garang. Datang dengan nafsu merusak, menghancurkan, bahkan berambisi membunuh. Sebuah peti mati yang dibawa para demonstran terkait pembentukan Provinsi Tapanuli, bukan sebagai sindiran bahwa demokrasi terancam mati total—menyindir para anggota DPRD Sumatra Utara—tetapi benar-benar menuntut kematian yang mengenaskan.
Peristiwa di gedung Dewan Sumatra Utara itu benar-benar merupakan peristiwa kelam, yang tidak saja mengusik ketenangan masyarakat, tetapi tindakan biadab yang meneror kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak bisa ditoleransi sedikitpun. Bila dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang merugikan kita semua.
Karena itu, jangan katakan bahwa peristiwa DPRD Sumatra Utara sebagai harga mahal yang memang harus dibayar untuk demokrasi. Adalah benar bahwa demonstran mempunyai kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi undang-undang. Namun pada saat bersamaan, bukan berarti para demonstran bebas berbuat sekehendak hati, mengacak-acak gedung pertemuan DPRD, membubarkan sidang yang sedang berjalan, menghancurkan meja, kursi, bahkan memukul, mendorong-dorong Ketua DPRD Abdul Aziz Angkat hingga akhirnya berakibat meninggalnya pejuang nasib rakyat tersebut. Demonstrasi bukan pembenaran memaksakan kehendak, tetapi cara memperjuangkan kepentingan dengan “tekanan” yang elegan dan prosedural.
Belajar dari Tragedi Medan
Tragedi DPRD Sumatra Utara merupakan peristiwa yang tidak saja memalukan bangsa di mata dunia, tetapi juga pelajaran yang teramat mahal bagi negeri ini dalam “belajar” berdemokrasi. Kejadian ini harus menjadi bahan instropeksi semua pihak, bagi mereka yang sering berada di balik kelompok demonstran, aparat kepolisian, elite politik, dan para anggota DPR/DPRD sendiri.
Bagi institusi kepolisian, tragedi Medan itu telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa aparat harus bisa mengurai serta memisahkanya dengan jeli dan jernih antara demokrasi dan anarkisme dalam rangka pengamanan lembaga negara. Tapi, bukan berarti demi menjaga lembaga negara dan keselamatan para anggota Dewan justru dibangun pagar tinggi, yang bisa bermakna memisahkan anggota Dewan dengan rakyat yang mereka wakili. Keterbukaan itu hendaknya tidak membuat aparat keamanan lalai dan lengah dalam melindungi penyelenggara negara.
Karena itu, tugas yang sangat mendesak sekarang bagi aparat kepolisian dan penegak hukum harus sesegera mungkin menindak para pelakunya. Disebutkan kemungkinan meninggalnya kader Partai Golkar tersebut karena serangan jantung dan bukan pengeroyokan atau pemukulan. Tetapi apapun hasil visummya yang jelas meninggalnya Ketua DPRD Sumatra Utara tersebut tak bisa dipisahkan dari aksi massa yang begitu tidak manusiawi tersebut. Aksi-aksi semacam itu tidak bisa ditoleransi sedikitpun. Siapa yang harus bertanggung jawab? Itulah yang harus segera diselidiki.
Dan yang tak kalah pentinganya adalah bahwa kejadian brutal dan sadis semacam itu bisa dijadikan bahan perenungan atau introspeksi bagi semua pihak. Mengapa masyarakat mudah dibakar emosinya dan berbuat sesuatu yang keji dan kejam. Apakah ini juga cerminan perilaku pemimpin dan elite-elite kita. Atau setidaknya ada di antara mereka yang memang menjadi sutradara atau aktor intelektualnya. Karena sebenarnya elite politik di Senayan pun pernah menunjukkan perilaku “barbarisme”.
Karena itu, menjelang pesta demokrasi berupa Pemilu 2009 ini hendaknya para calon legislatif dan dan politikus di negeri ini perlu mengambil hikmah di balik peristiwa tersebut. Yakni tak boleh lagi main-main dengan persoalan yang menyangkut kehidupan rakyat, karena akan dapat memicu kemarahan dan mendorong terjadinya aksi brutal semacam itu. Kendati kita tak bisa membenarkan dan tak boleh membiarkan aksi semacam itu, langkah preventif dapat dilakukan baik dari segi keamanan maupun komunikasi terbuka. Jangan sampai DPR/DPRD sekadar mengombar janji dan menjadi lembaga eksklusif dan bertindak untuk kepentingan elitenya saja. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar