Minggu, 08 September 2013

Islam dalam Mozaik Nusantara



14/08/2009
Oleh: Imam Muhlis**
(Manager Program Akademik Padepokan Musa Asy’arie, Jogjakarta)

Islam, keindoensiaan, dan kemanusiaan jika masih terus diperdebatkan, kita justru akan semakin ketinggalan jauh dari bangsa lain di muka bumi ini. Itulah sepenggal kritik Buya Ahmad Syafii Maarif pada acara bedah buku, ”Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah” (Mizan, 2009), di Padepokan Musa Asy’arie Jogjakarta, pada 06 Agustus 2009 lalu.
Buya Maarif—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif— tampaknya merasa risau dan gundah melihat pemikiran dan gerakan kelompok Islam kecil yang berusaha memisahkan Islam, keindoensiaan, dan kemanusiaan. Menurutnya, sebagai penduduk mayoritas di negeri ini semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan dan memperdebatkan hubungan tiga entitas tersebut, sehingga bangsa ini tidak selalu terjebak dan terbenam dalam polemik yang tak berkesudahan.
Lewat masterpiece ini, Buya Maarif berusaha mencari terobosan-terobosan baru dalam rangka mensintesakan wawasan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan untuk mewujudkan kohesi dengan realitas dan konsepsi Indonesia sebagai ”perumahan” dengan mengutip pernyataan Jakob Oetama ”yang membuat bagi kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara” (hlm. 307).
Sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah, ia mengkaji tiga entitas tersebut dari perspektif historis dan mencermati pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik. Kajian secana doktrinal maupun historis membuahkan suatu pernyataan dari dalam diri mantan orang nomor wahid di PP. Muhammadiyah ini bahwa ketiga entitas itu haruslah diembuskan dalam satu napas nyanyian Nusantara, sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, toleran, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.
Dilihat dalam perspektif sejarah masa awal, Islam sebagai pesan langit terakhir dalam rentang waktu relatif singkat telah berhasil mendapatkan bumi yang beragam penduduk dan kulturnya; sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di bumi Nusantara ini tanpa diskriminasi apa pun agama yang dianutnya (hlm. 15).
Peta yang hendak dibangun oleh cendekiawan pengagum Mohammad Hatta ini adalah terciptanya rasa nyaman dan aman di satu pihak, serta berupaya mendialogkan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan agar berjalan seirama dan menyatu saling mengisi membangun sebuah taman sari khas Indonesia. Bagi murid Fazlur Rahman, Islam Indonesia diharapkan memberikan dasar-dasar spiritual, etis dan moral bagi pembangunan nasional, karena Islam dimengerti sebagai ruh dan spirit yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 bahkan mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti monoteisme, keadilan sosial, kerakyatan, dan permusyawarahan (hlm. 135-146).
Meskipun gagasan brilian Buya Maarif telah meluncur jauh menyasar denyut dan jantung keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, tetapi tetap saja terkadang menuai kritik yang cukup pedas bahkan caci maki, termasuk dari kelompoknya sendiri, Muhammadiyah. Ia oleh sebagian tokoh Muhammadiyah dinilai sebagai tokoh yang keblinger kerana ketidak setujuannya terhadap syariat Islam dan tentu saja juga negara Islam Indonesia. Lebih jauh lagi, gagasan intelektual muslim jebolan Chicago University, Amerika Serikat ini dinilai tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan “sampah masyarakat” perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan. Konsepsi Buya Maarif tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual.
Terlepas dari perdebatan itu, sebagai bahan renungan, apa yang dilakukan oleh Buya Maarif lewat pemikirannya saat ini, adalah tonggak awal dari benteng Indonesia yang sedang kita bangun. Buya Maarif dalam hal ini telah memulainya dengan menuangkan gagasannya sejak 2 Mei 2006 lalu lewat buku setabal 388 halaman ini. Pencerahan Buya Maarif selalu dinanti banyak kalangan. Diusinya yang cukup senja, pikiran-pikiran jenuin dan jernih yang mengalir bak air dari “guru bangsa” ini diharapkan menjadi secawan optimisme di tengah jibaku bangsa Indonesia yang hingga kini belum jelas arahnya. Kewajiban kita sekarang adalah bagaimana mengawal dan mempertahankan benteng tersebut agar tidak ambruk. Karena demokrasi yang kokoh harus ditopang oleh nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yang kokoh pula.
Akhirnya, karya besar yang selesai pada 9 Februari 2009 ini cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena sepanjang perjalanan bangsa ini, belum ditemukan sebuah karya tulis yang relatif utuh yang membicarakan secara agak mendalam, kritikan, evaluatif, dan kreatif tentang masalah Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Apalagi, penulis buku ini adalah merupakan fenomena baru dalam sentrum intelektualisme Muhammadiyah kontemporer. Ia berhasil mendobrak “kemapanan” dan kepasipan tradisi intelektual di negeri ini. Selamat Membaca!

Selasa, 27 Agustus 2013

Gus Dur Juga Manusia



05/April/2008
Oleh : Imam Muhlis
Publik yang rajin menyimak dan membaca beberapa tulisan di media massa yang menyikapi atraksi politik KH. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur yang kini sedang berseteru dengan ponaannya sendiri—Muhaimin Iskandar—politikus muda asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang harus rela lengser dari posisi Ketua Dewan Tanfidz PKB adalah semuanya bermuara pada mendukung sosok Gus Dur, ada pula yang abu-abu, dan tidak ada sama sekali yang mengkritisi Gus Dur. Langkahnya yang kadang dianggap aneh tetapi pada akhirnya banyak orang  ikut membenarkan dan mengamini, bahkan ada yang bilang Gus Dir itu waliyullah. Benarkah demikian? Bukankah Gus Dur juga Manusia? Bukan Nabi maupun Malaikat yang maksum.
Mari kita sima beberapa tulisan di media massa yang menyikapi sosok Gus Dur dan konflik PKB. M. Alfan Alfian, misalnya, di harian Kompas (31/03) berjudul “Gonjang-ganjing Pilitik PKB”, hanya menyikapi seputar konflik dan masih dominannya figur Gus Dur di internal PKB. Ada yang berjudul “Ayat-Ayat Gus Dur”, sebagaimana yang ditulis Dhimam Abror, tapi ia lebih memilih aman yaitu: wallahu a’lam dalam menyikapi konflik Gus Dur dan Muhaimin Iskandar (Kolom Surya, 30/03). Ada juga tulisan yang bernada mengamini konflik Gus Dur. Dengan adanya konflik, Gus Dur justru semakin teruji dan terbukti, bahwa Gus Dur mampu mengatasi setiap konflik tersebut dengan “kemenangan” berada di pihaknya. Sebagaimana yang ditulis Zudi Setiawan, salah satu Dosen di Universitas Wahid Hasyim Semarang, dengan judul  “Gus Dur, Konflik, dan Kepemimpinan” (Wawasan, 03/04).
Berbeda dengan tulisan Zainul Munasichin, Mantan Ketua DKN Garda Bangsa Jatim. Ia sedikit agak kritis dalam menyikapi manuver-manuver politik Gus Dur, terutama konflik di internal partai asuhan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang  kini sedang meruncing itu. Dalam tulisan yang berjudul “Neraca Politik Gus Dur”, Zainul memaparkan secara kronologis konflik politik Gus Dur. Menurutnya, satu-satunya kemenangan politik Gus Dur dalam enam tahun terakhir ini hanyalah dalam kasus perseteruan PKB melawan Mathori, Alwi Shihab dan Choirul Anam. Meminjam istilah sepak bola, semuanya kemenangan kandang. Selebihnya untuk partai tandang Gus Dur bisa dikatakan kalah total (Surya, 04/04).
Yang lebih menarik lagi adalah tulisan saudara Jabir Alfaruqi di harian Suara Merdeka (02/03), dengan judul Dipecat Gus Dur Itu Rahmat”. Manarik karena menurut sauadara Jabir, sungguh sangat beruntung orang-orang yang selama ini dekat dengan Gus Dur kemudian ditendang dari sisinya, termasuk di balik pemecatan Muhaimin Iskandar. Itu semua merupakan rahmat.
Masih menurut sauadara Jabir Alfaruqi, sejumlah orang dekat atau bahkan disebut-sebut sebagai anak emas Gus Dur yang telah lebih dahulu dilengserkan, justru sekarang meraih prestasi yang spektakuler dan banyak partai lain yang berminat untuk melamarnya. Pemecatan Saifullah Yusuf, misalnya, kini bisa diterima di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), begitu juga yang dialami Khofifah Indar Parawangsa yang hari ini justru dicalonkan PPP dalam Pemilihan Gubernur Jatim. Begitu juga dengan nasib Alwi Shihab yang sekarang menjadi utusan khusus Presiden SBY untuk kawasan Timur Tengah. Prestasi itu diraih setelah dilengserkan Gus Dur dari PKB.
Pertanyaannya, benarkah di balik pemacatan sejumlah petinggi PKB, mulai dari Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan, dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol—merupakan rahmat dan mengandung barokah sebagaimana yang diasumsikan para penulis di atas? Bagi para pendukungnya mungkin itu benar, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur itu mengandung barokah, bahkan menjadi jimat penyemangat yang cukup ampuh.
Namun tidak demikian bagi para pengkritiknya, Gus Dur justru disebut-sebut sebagai politisi “semau gue”, yang cenderung otoriter maupun tanpa dasar alias demokrat dalam tingkat “mulut” tapi tidak dalam laku. Bahkan Gus Dur dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan PKB dalam melakukan terobosan politik yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat Indonesia.
Memang, para pengagum Gus Dur atau Gus Durian selama ini sering kali menganggap apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur selalu dianggap sesuatu yang mutlak dan haram untuk dilanggar walaupun petuah politik itu sangat tendensius berdasarkan kepentingannya, atau like or dislike.
Seperti biasanya, mereka yang membangkang terhadap petuah itu selalu terancam posisinya, lalu digolongkan sebagai “santri bandel”. Dan siapa yang tersingkir, tidak ada yang bernyali atau menang dalam menghadapi Ketua Dewan Syuro PKB Gus Dur (baca: Zudi Setiawan).
Partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu memang unik dalam memposisikan Gus Dur. Tokoh kharismatik NU tersebut dinilai sama dengan PKB atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai AD/ART-nya PKB itu sendiri.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa  Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam keberlanjutan PKB. Dan para Gus Durian pun belum bisa beranjak dari jebakan “feodalisme” dan figurisme yang menjadi bagian dari kultur NU itu sendiri. Maklum, orang-orang PKB umumnya orang NU yang berambisi masuk arena politik dengan membawa atribut budayanya, sebagai sandaran dan orientasi tindakannya pada figur-figur tertentu.

Pertanyaannya, kondusifkah bagi PKB ke depan apabila kecenderungan figurisme semacam itu, yang berakhir dengan pemecatan demi pemecatan tetap dilestarikan? Jelas tidak! Konflik antar pengurus partai politik (parpol) memang merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi karena berkaitan dengan loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik—tabayun dalam istilah Nahdatul Ulama (NU).
Karena itu, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat disayangkan, di samping karena menjalang Pemilu 2009, juga karena kelahirannya dibidani oleh para tokoh NU yang seharusnya menjadi garda depan dalam memberikan contoh kehidupan berdemokrasi. Penggusuran Muhaimin Iskandar memang urusan internal PKB. Tetapi melihat positioning PKB sebagai salah satu aset kebangsaan, selayaknya mewarisi keluhuran sikap kenegarawanan sebagai ekspresi yang patut dicontoh oleh rakyat.
Memang, kita sangat memahami bahwa Gus Dur adalah seorang pemikir besar dan seorang guru bangsa yang kerapkali mengambil langkah yang sulit ditafsirkan banyak orang. Tetapi, bukankah Gus Dur juga manusia—bisa salah bisa benar. Demikian pula pencopotan Muhaimin Iskandar, belum dikatahui secara benar dan pasti, ramai-ramai pada ikut membenarkan dan mengamini Gus Dur. Sekarang, Gus Dur masih sadang bertarung melawan keponakannya sendiri. Jika Muhaimin yang benar dan menang, maka saran banyak orang agar Gus Dur kembali ke barak alias ke pondok pesantren dan lebih berkosentrasi menjadi guru bangsa layak dipertimbangkan. Semoga!

Senin, 26 Agustus 2013

Gus Dur dan Jebakan Feodalisme



02/Arpil/2008
Oleh : Imam Muhlis
[Peneliti pada SCSP, Yogyakarta]
Menarik mencermati tulisan saudara Jabir Alfaruqi di koran ini (Suara Merdeka, Kolom Wacana, 02/03), dengan judul Dipecat Gus Dur Itu Rahmat”. Manarik karena menurut sauadara Jabir, sungguh sangat beruntung orang-orang yang selama ini dekat dengan Gus Dur kemudian ditendang dari sisinya, termasuk di balik pemecatan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidz PKB atau petinggi PKB lainnya. Itu semua merupakan rahmat.
Masih menurut sauadara Jabir Alfaruqi, sejumlah orang dekat atau bahkan disebut-sebut sebagai anak emas Gus Dur yang telah lebih dahulu dilengserkan, justru sekarang meraih prestasi yang spektakuler dan banyak partai lain yang berminat untuk melamarnya. Pemecatan Saifullah Yusuf, misalnya, kini bisa diterima di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), begitu juga yang dialami Khofifah Indar Parawangsa yang hari ini justru dicalonkan PPP dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Begitu juga dengan nasib Alwi Shihab yang sekarang menjadi utusan khusus Presiden SBY untuk kawasan Timur Tengah. Prestasi itu diraih setelah dilengserkan Gus Dur dari PKB.
Pertanyaannya, benarkah di balik pemacatan sejumlah petinggi PKB, mulai dari Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan, dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol—merupakan rahmat, sebagaimana yang diasumsikan saudara Jabir Alfaruqi? Bagi para pendukungnya mungkin itu benar, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur itu mengandung rahmat dan barokah (baca : Jabir Alfaruqi), bahkan menjadi jimat yang cukup ampuh.
Namun tidak demikian bagi para pengkritiknya, Gus Dur justru disebut-sebut sebagai politisi “semau gue”, yang cenderung otoriter maupun tanpa dasar alias demokrat dalam tingkat wacana tapi tidak dalam tindakan. Bahkan Gus Dur dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan PKB dalam melakukan terobosan politik yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat Indonesia.
Memang, para pengagum Gus Dur atau Gus Durian selama ini sering kali menganggap apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur selalu dianggap sesuatu yang mutlak dan haram untuk dilanggar walaupun petuah politik itu sangat tendensius berdasarkan kepentingannya, atau like or dislike.
Seperti biasanya, mereka yang membangkang terhadap petuah itu selalu terancam posisinya, lalu digolongkan sebagai “santri bandel”. Dan siapa yang tersingkir, tidak ada yang bernyali atau menang dalam menghadapi Ketua Dewan Syuro PKB Gus Dur.
Partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu memang unik dalam memposisikan Gus Dur. Tokoh kharismatik NU tersebut dinilai sama dengan PKB atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai AD/ART-nya PKB itu sendiri.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa  Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam keberlanjutan PKB. Dan para Gus Durian pun belum bisa beranjak dari jebakan “feodalisme” dan figurisme yang menjadi bagian dari kultur NU itu sendiri. Maklum, orang-orang PKB umumnya orang NU yang berambisi masuk arena politik dengan membawa atribut budayanya, sebagai sandaran dan orientasi tindakannya pada figur-figur tertentu.
Pertanyaannya, kondusifkah bagi PKB ke depan apabila kecenderungan semacam itu, yang berakhir dengan pemecatan demi pemecatan tetap dilestarikan? Jelas tidak! Konflik antar pengurus partai politik (parpol) memang merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi karena berkaitan dengan loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik—tabayun dalam istilah Nahdatul Ulama (NU).
Karena itu, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat disayangkan, di samping karena menjalang Pemilu 2009, juga karena kelahirannya dibidani oleh para tokoh NU yang seharusnya menjadi garda depan dalam memberikan contoh kehidupan berdemokrasi. Penggusuran Muhaimin Iskandar memang urusan internal PKB. Tetapi melihat positioning PKB sebagai salah satu aset kebangsaan, selayaknya mewarisi keluhuran sikap kenegarawanan sebagai ekspresi yang patut dicontoh oleh rakyat.
Keluar Dari Feodalisme
Ada beberapa hal yang mesti dikritisi menyangkut watak dan tradisi politik internal PKB yang selama ini justru menjadi masalah dan menghambat menuju parpol yang berwatak inklusif dan demokratis. Pertama, PKB harus berani mensponsori peralihan kecenderungan budaya politik yang masih terpaku pada budaya patronase atau “kiai-santri”.
Kedua, PKB hendaknya berani keluar dari jebakan feodalisme dan figurisme. Artinya, kepemimpinan tradisional yang mengandalkan tipe karisma, yang terlalu bergantung pada Gus Dur, secara bertahap perlu dikurangi. Cairnya tradisi feodalisme, juga dapat memberi peluang pada proses pergerakan menuju parpol yang modern, terbuka, egaliter dan populis.
Transformasi gaya kepemimpinan tradisional ke modern sangat diperlukan agar PKB di masa depan dapat bersaing dengan parpol-parpol lain. Apalagi partai yang mengandalkan warga nahdliyin sebagai konstituen utamanya ini dimungkinkan akan menghadapi kompetitor yang tidak ringan dari Partai Kebangkitan Nasional Umat (PKNU) yang juga menyandarkan diri pada basis pemilih yang sama. Di sisi lain, kesadaran politik warga nahdliyin kini kian meningkat dan mereka jelas tak mau dijebak atau terjebak oleh parpol yang tak mengedepankan dimensi rasionalitas dalam pengelolaan parpolnya termasuk pengelolaan konflik di tubuh partai.
Memang, kita sangat memahami bahwa Gus Dur adalah seorang pemikir besar dan seorang guru bangsa yang kerapkali mengambil langkah yang sulit ditafsirkan banyak orang. Langkahnya kadang dianggap aneh namun pada akhirnya banyak orang  ikut membenarkan dan mengamini. Demikian pula dampak dari pencopotan Muhaimin Iskandar,  tokoh sekaliber Gus Dur tentu sudah tahu dan menghitung untung ruginya bagi PKB. Namun problemnya bukan di situ, tapi persoalannya adalah terletak pada ketidakpercayaan rakyat terhadap partai tersebut karena tidak mewariskan keluhuran berpolitik, kecerdasan membangun citra, serta menempatkan diri sebagai bagian dari elemen penting pendidikan politik rakyat.

Andai PKB “Tanpa” Gus Dur

01/April/2008
Oleh: Imam Muhlis
[Pemerhati dan Peneliti Pada Social and Philosophical Studies (SöPHIS) Yogyakarta]
Bagaimana nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jika tanpa Gus Dur? Itulah pertanyaan yang mengemuka ketika Muhaimin Iskandar dicopot dari posisi Ketua Dewan Tanfidz PKB (Jawa Pos, 28/03). Bagi para pendukungnya, jika PKB tanpa Gus Dur akan gulung tikar alias ditinggalkan oleh konstituennya, karena Gus Dur adalah sosok demokrat yang disegani (kharismatik). Tetapi bagi para pengkritiknya, PKB justru akan lebih eksis dan maju tanpa Gus Dur, karena ia merupakan politisi “semau gue”, alias demokrat dalam tingkat wacana tapi tidak dalam tindakan.
Partai berlambang bola dunia itu memang unik dalam memposisikan Gus Dur. Gus Dur dinilai sama dengan PKB atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai AD/ART-nya PKB itu sendiri. Bahkan tak heran bila PKB selalu diledek dengan sebutan “Partai Keluarga Besar” Gus Dur.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa  Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam keberlanjutan PKB ke depan. Sejak dideklarasikan pasca-reformasi 1998, partai ini memang terus menerus dilanda konflik internal sehingga kurang bisa berkonsentrasi untuk mewujudkan berbagai program kerja dan terobosan politik yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat Indonesia.
Bahkan partai ini telah banyak kehilangan tokoh-tokoh unggulannya, mulai dari Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan, dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol. Kini giliran Ketua Dewan Tandfidz-nya, Muhaimin Iskandar yang dilengserkan.
Pelengseran atau pemecatan terhadap pengurus partai politik (parpol) memang merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi berkaitan dengan loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik. PKB sepertinya belum memiliki pelembagaan konflik yang seperti itu.
Memang, dunia politik—meminjam istilah Vaclav Havel “batas antara kawan dan lawan sangat tipis”, bahkan di antara keluarga sendiri. Di internal PKB pun dogma umum semacam itu berlaku gamblang, ketika terjadi perbenturan pandangan antarpengurus, bahkan antara dua orang yang bertalian darah, meskipun dimaksudkan dalam kerangka konsolidasi dan kristalisasi demi menjaga kukuhnya integritas internal partai.
Namun, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat disayangkan karena menjalang Pemilu 2009. Padahal seharusnya menjalang pemilu dimanfaatkan sebagai momentum konsolidasi dan kristalisasi untuk menjaga dan mengukuhkan integritas internal partai. Apalagi partai yang mengandalkan warga nahdliyin sebagai konstituen utamanya ini dimungkinkan akan menghadapi kompetitor yang tidak ringan dari Partai Kebangkitan Nasional Umat (PKNU) yang juga menyandarkan diri pada basis pemilih yang sama.
Karena itu, konflik internal PKB ini tentu saja akan menghadirkan instabilitas politik di tubuh PKB. Bukan tidak mungkin dalam situasi dan kondisi semacam itulah partai-partai lain berusaha mengambil keuntungan secara penuh dalam menghadapi Pemilu 2009 yang sudah di depan pintu, terutama yang mengandalkan perolehan suaranya dari warga nahdliyin.
Keluar Dari Jebakan
Figur besar KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang tetap menempati posisi khusus di tubuh PKB, sehingga parpol ini sangat sulit memperoleh penerimaan publik di luar komunitas basisnya. Hal itu terutama sangat terasa di luar Jawa, yang ikatan-ikatan emosional ke-NU-annya sangat longgar meski tradisi ber-Islam-nya ala NU. Apalagi, kesadaran politik masyarakat kita kian meningkat.
Kemauan PKB untuk menjadi parpol yang berwatak inklusif, demokratis dan egaliter terkesan hanya menjadi wacana yang melangit, dan sulit untuk membumikannya. Penonjolan citra PKB sebagai parpol yang inklusif, populis dan egaliter seakan hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati publik.
Padahal, sejumlah tokoh penting NU yang selama ini memberi kontribusi kepada PKB dan Gus Dur telah menyatakan keberatan terhadap sikap Gus Dur, terutama dalam meniadakan hak seseorang. Bahkan sikap ini juga disampaikan sejumlah pendiri PKB, seperti Ahmad Bagdja dan kawan-kawan, yang meminta Gus Dur tak lagi campur tangan terlalu jauh di PKB.
Karena itu, PKB harus berani keluar dari jebakan figur”isme”. Artinya, kepemimpinan tradisional yang mengandalkan tipe karisma, yang terlalu bergantung pada Gus Dur, secara bertahap perlu dikurangi. Cairnya tradisi feodalisme, juga dapat memberi peluang pada proses pergerakan menuju parpol yang modern, terbuka, egaliter dan populis.
Penyegaran kepemimpinan di tubuh PKB sangat diperlukan, agar kepemimpinan yang ada dapat bergerak lincah, seimbang dan mampu berkompetisi dengan pemimpin-pemimpin parpol yang lain. Apalagi kini muncul pesaing yang sama-sama menyandarkan pada basis nahdliyin. Jika kepemimpinan PKB masih mengandalkan tipe karisma, bukan mustahil dukungan basis massa yang selama ini diarahkan ke PKB dialihkan ke parpol lain terutama PKNU, karena warga nadhiyin jelas tak mau dijebak atau terjebak oleh parpol yang tak mengedepankan dimensi rasionalitas dalam pengelolaan parpolnya termasuk pengelolaan konflik di tubuh partai. Identitas PKB yang identik dengan Gus Dur hendaknya segera diakhiri. Mungkinkah? Wallahu a’lam bissawab.