Senin, 26 Agustus 2013

Andai PKB “Tanpa” Gus Dur

01/April/2008
Oleh: Imam Muhlis
[Pemerhati dan Peneliti Pada Social and Philosophical Studies (SöPHIS) Yogyakarta]
Bagaimana nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jika tanpa Gus Dur? Itulah pertanyaan yang mengemuka ketika Muhaimin Iskandar dicopot dari posisi Ketua Dewan Tanfidz PKB (Jawa Pos, 28/03). Bagi para pendukungnya, jika PKB tanpa Gus Dur akan gulung tikar alias ditinggalkan oleh konstituennya, karena Gus Dur adalah sosok demokrat yang disegani (kharismatik). Tetapi bagi para pengkritiknya, PKB justru akan lebih eksis dan maju tanpa Gus Dur, karena ia merupakan politisi “semau gue”, alias demokrat dalam tingkat wacana tapi tidak dalam tindakan.
Partai berlambang bola dunia itu memang unik dalam memposisikan Gus Dur. Gus Dur dinilai sama dengan PKB atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai AD/ART-nya PKB itu sendiri. Bahkan tak heran bila PKB selalu diledek dengan sebutan “Partai Keluarga Besar” Gus Dur.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa  Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam keberlanjutan PKB ke depan. Sejak dideklarasikan pasca-reformasi 1998, partai ini memang terus menerus dilanda konflik internal sehingga kurang bisa berkonsentrasi untuk mewujudkan berbagai program kerja dan terobosan politik yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat Indonesia.
Bahkan partai ini telah banyak kehilangan tokoh-tokoh unggulannya, mulai dari Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan, dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol. Kini giliran Ketua Dewan Tandfidz-nya, Muhaimin Iskandar yang dilengserkan.
Pelengseran atau pemecatan terhadap pengurus partai politik (parpol) memang merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi berkaitan dengan loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik. PKB sepertinya belum memiliki pelembagaan konflik yang seperti itu.
Memang, dunia politik—meminjam istilah Vaclav Havel “batas antara kawan dan lawan sangat tipis”, bahkan di antara keluarga sendiri. Di internal PKB pun dogma umum semacam itu berlaku gamblang, ketika terjadi perbenturan pandangan antarpengurus, bahkan antara dua orang yang bertalian darah, meskipun dimaksudkan dalam kerangka konsolidasi dan kristalisasi demi menjaga kukuhnya integritas internal partai.
Namun, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat disayangkan karena menjalang Pemilu 2009. Padahal seharusnya menjalang pemilu dimanfaatkan sebagai momentum konsolidasi dan kristalisasi untuk menjaga dan mengukuhkan integritas internal partai. Apalagi partai yang mengandalkan warga nahdliyin sebagai konstituen utamanya ini dimungkinkan akan menghadapi kompetitor yang tidak ringan dari Partai Kebangkitan Nasional Umat (PKNU) yang juga menyandarkan diri pada basis pemilih yang sama.
Karena itu, konflik internal PKB ini tentu saja akan menghadirkan instabilitas politik di tubuh PKB. Bukan tidak mungkin dalam situasi dan kondisi semacam itulah partai-partai lain berusaha mengambil keuntungan secara penuh dalam menghadapi Pemilu 2009 yang sudah di depan pintu, terutama yang mengandalkan perolehan suaranya dari warga nahdliyin.
Keluar Dari Jebakan
Figur besar KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang tetap menempati posisi khusus di tubuh PKB, sehingga parpol ini sangat sulit memperoleh penerimaan publik di luar komunitas basisnya. Hal itu terutama sangat terasa di luar Jawa, yang ikatan-ikatan emosional ke-NU-annya sangat longgar meski tradisi ber-Islam-nya ala NU. Apalagi, kesadaran politik masyarakat kita kian meningkat.
Kemauan PKB untuk menjadi parpol yang berwatak inklusif, demokratis dan egaliter terkesan hanya menjadi wacana yang melangit, dan sulit untuk membumikannya. Penonjolan citra PKB sebagai parpol yang inklusif, populis dan egaliter seakan hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati publik.
Padahal, sejumlah tokoh penting NU yang selama ini memberi kontribusi kepada PKB dan Gus Dur telah menyatakan keberatan terhadap sikap Gus Dur, terutama dalam meniadakan hak seseorang. Bahkan sikap ini juga disampaikan sejumlah pendiri PKB, seperti Ahmad Bagdja dan kawan-kawan, yang meminta Gus Dur tak lagi campur tangan terlalu jauh di PKB.
Karena itu, PKB harus berani keluar dari jebakan figur”isme”. Artinya, kepemimpinan tradisional yang mengandalkan tipe karisma, yang terlalu bergantung pada Gus Dur, secara bertahap perlu dikurangi. Cairnya tradisi feodalisme, juga dapat memberi peluang pada proses pergerakan menuju parpol yang modern, terbuka, egaliter dan populis.
Penyegaran kepemimpinan di tubuh PKB sangat diperlukan, agar kepemimpinan yang ada dapat bergerak lincah, seimbang dan mampu berkompetisi dengan pemimpin-pemimpin parpol yang lain. Apalagi kini muncul pesaing yang sama-sama menyandarkan pada basis nahdliyin. Jika kepemimpinan PKB masih mengandalkan tipe karisma, bukan mustahil dukungan basis massa yang selama ini diarahkan ke PKB dialihkan ke parpol lain terutama PKNU, karena warga nadhiyin jelas tak mau dijebak atau terjebak oleh parpol yang tak mengedepankan dimensi rasionalitas dalam pengelolaan parpolnya termasuk pengelolaan konflik di tubuh partai. Identitas PKB yang identik dengan Gus Dur hendaknya segera diakhiri. Mungkinkah? Wallahu a’lam bissawab.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar