01/April/2008
Oleh: Imam
Muhlis
[Pemerhati dan
Peneliti Pada Social and Philosophical Studies (SöPHIS) Yogyakarta]
Bagaimana nasib Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) jika tanpa Gus Dur? Itulah
pertanyaan yang mengemuka ketika Muhaimin Iskandar dicopot dari posisi Ketua
Dewan Tanfidz PKB (Jawa Pos, 28/03). Bagi para pendukungnya, jika PKB
tanpa Gus Dur akan gulung tikar alias ditinggalkan oleh konstituennya, karena
Gus Dur adalah sosok demokrat yang disegani (kharismatik). Tetapi bagi para
pengkritiknya, PKB justru akan lebih eksis dan maju tanpa Gus Dur, karena ia
merupakan politisi “semau gue”, alias demokrat dalam tingkat wacana tapi tidak
dalam tindakan.
Partai
berlambang bola dunia itu memang unik dalam memposisikan Gus Dur. Gus Dur
dinilai sama dengan PKB atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur
dapat dikatakan sebagai AD/ART-nya PKB itu sendiri. Bahkan tak heran bila PKB
selalu diledek dengan sebutan “Partai Keluarga Besar” Gus Dur.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam
keberlanjutan PKB ke depan. Sejak dideklarasikan pasca-reformasi 1998, partai
ini memang terus menerus dilanda konflik internal sehingga kurang bisa
berkonsentrasi untuk mewujudkan berbagai program kerja dan terobosan politik
yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat
Indonesia.
Bahkan
partai ini telah banyak kehilangan tokoh-tokoh unggulannya, mulai dari Matori
Abdul Djalil, Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah Indar Parawansa, Choirul
Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan, dan sejumlah nama lain yang
tidak terlalu menonjol. Kini giliran Ketua Dewan Tandfidz-nya, Muhaimin
Iskandar yang dilengserkan.
Pelengseran atau pemecatan terhadap pengurus partai politik (parpol) memang
merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi berkaitan dengan
loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik
antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai
mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik. PKB
sepertinya belum memiliki pelembagaan konflik yang seperti itu.
Memang, dunia politik—meminjam istilah Vaclav Havel “batas antara kawan dan
lawan sangat tipis”, bahkan di antara keluarga sendiri. Di internal PKB pun
dogma umum semacam itu berlaku gamblang, ketika terjadi perbenturan pandangan
antarpengurus, bahkan antara dua orang yang bertalian darah, meskipun
dimaksudkan dalam kerangka konsolidasi dan kristalisasi demi menjaga kukuhnya
integritas internal partai.
Namun, konflik di internal PKB saat ini
oleh banyak pihak sangat disayangkan karena menjalang Pemilu 2009. Padahal
seharusnya menjalang pemilu dimanfaatkan sebagai momentum konsolidasi dan
kristalisasi untuk menjaga dan mengukuhkan integritas internal partai. Apalagi
partai yang mengandalkan warga nahdliyin sebagai konstituen utamanya ini
dimungkinkan akan menghadapi kompetitor yang tidak ringan dari Partai
Kebangkitan Nasional Umat (PKNU) yang juga menyandarkan diri pada basis pemilih
yang sama.
Karena itu, konflik internal PKB ini
tentu saja akan menghadirkan instabilitas politik di tubuh PKB. Bukan tidak
mungkin dalam situasi dan kondisi semacam itulah partai-partai lain berusaha
mengambil keuntungan secara penuh dalam menghadapi Pemilu 2009 yang sudah di
depan pintu, terutama yang mengandalkan perolehan suaranya dari warga
nahdliyin.
Keluar
Dari Jebakan
Figur
besar KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang tetap menempati posisi khusus di
tubuh PKB, sehingga parpol ini sangat sulit memperoleh penerimaan publik di
luar komunitas basisnya. Hal itu terutama sangat terasa di luar Jawa, yang
ikatan-ikatan emosional ke-NU-annya sangat longgar meski tradisi ber-Islam-nya
ala NU. Apalagi, kesadaran politik masyarakat kita kian meningkat.
Kemauan
PKB untuk menjadi parpol yang berwatak inklusif, demokratis dan egaliter
terkesan hanya menjadi wacana yang melangit, dan sulit untuk membumikannya.
Penonjolan citra PKB sebagai parpol yang inklusif, populis dan egaliter seakan
hanya menjadi komoditas politik untuk menarik simpati publik.
Padahal,
sejumlah tokoh penting NU yang selama ini memberi kontribusi kepada PKB dan Gus
Dur telah menyatakan keberatan terhadap sikap Gus Dur, terutama dalam
meniadakan hak seseorang. Bahkan sikap ini juga disampaikan sejumlah pendiri
PKB, seperti Ahmad Bagdja dan kawan-kawan, yang meminta Gus Dur tak lagi campur
tangan terlalu jauh di PKB.
Karena
itu, PKB harus berani keluar dari jebakan figur”isme”. Artinya, kepemimpinan
tradisional yang mengandalkan tipe karisma, yang terlalu bergantung pada Gus
Dur, secara bertahap perlu dikurangi. Cairnya tradisi feodalisme, juga dapat
memberi peluang pada proses pergerakan menuju parpol yang modern, terbuka,
egaliter dan populis.
Penyegaran kepemimpinan di tubuh PKB sangat diperlukan, agar kepemimpinan
yang ada dapat bergerak lincah, seimbang dan mampu berkompetisi dengan
pemimpin-pemimpin parpol yang lain. Apalagi kini muncul pesaing yang sama-sama
menyandarkan pada basis nahdliyin. Jika kepemimpinan PKB masih mengandalkan
tipe karisma, bukan mustahil dukungan basis massa yang selama ini diarahkan ke
PKB dialihkan ke parpol lain terutama PKNU, karena warga nadhiyin jelas tak mau
dijebak atau terjebak oleh parpol yang tak mengedepankan dimensi rasionalitas
dalam pengelolaan parpolnya termasuk pengelolaan konflik di tubuh partai. Identitas
PKB yang identik dengan Gus Dur hendaknya segera diakhiri. Mungkinkah? Wallahu
a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar