Minggu, 08 September 2013

Islam dalam Mozaik Nusantara



14/08/2009
Oleh: Imam Muhlis**
(Manager Program Akademik Padepokan Musa Asy’arie, Jogjakarta)

Islam, keindoensiaan, dan kemanusiaan jika masih terus diperdebatkan, kita justru akan semakin ketinggalan jauh dari bangsa lain di muka bumi ini. Itulah sepenggal kritik Buya Ahmad Syafii Maarif pada acara bedah buku, ”Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah” (Mizan, 2009), di Padepokan Musa Asy’arie Jogjakarta, pada 06 Agustus 2009 lalu.
Buya Maarif—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif— tampaknya merasa risau dan gundah melihat pemikiran dan gerakan kelompok Islam kecil yang berusaha memisahkan Islam, keindoensiaan, dan kemanusiaan. Menurutnya, sebagai penduduk mayoritas di negeri ini semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan dan memperdebatkan hubungan tiga entitas tersebut, sehingga bangsa ini tidak selalu terjebak dan terbenam dalam polemik yang tak berkesudahan.
Lewat masterpiece ini, Buya Maarif berusaha mencari terobosan-terobosan baru dalam rangka mensintesakan wawasan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan untuk mewujudkan kohesi dengan realitas dan konsepsi Indonesia sebagai ”perumahan” dengan mengutip pernyataan Jakob Oetama ”yang membuat bagi kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara” (hlm. 307).
Sebagai Guru Besar Ilmu Sejarah, ia mengkaji tiga entitas tersebut dari perspektif historis dan mencermati pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik. Kajian secana doktrinal maupun historis membuahkan suatu pernyataan dari dalam diri mantan orang nomor wahid di PP. Muhammadiyah ini bahwa ketiga entitas itu haruslah diembuskan dalam satu napas nyanyian Nusantara, sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, toleran, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.
Dilihat dalam perspektif sejarah masa awal, Islam sebagai pesan langit terakhir dalam rentang waktu relatif singkat telah berhasil mendapatkan bumi yang beragam penduduk dan kulturnya; sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur, dan agama kita yang beragam; sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di bumi Nusantara ini tanpa diskriminasi apa pun agama yang dianutnya (hlm. 15).
Peta yang hendak dibangun oleh cendekiawan pengagum Mohammad Hatta ini adalah terciptanya rasa nyaman dan aman di satu pihak, serta berupaya mendialogkan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan agar berjalan seirama dan menyatu saling mengisi membangun sebuah taman sari khas Indonesia. Bagi murid Fazlur Rahman, Islam Indonesia diharapkan memberikan dasar-dasar spiritual, etis dan moral bagi pembangunan nasional, karena Islam dimengerti sebagai ruh dan spirit yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 bahkan mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti monoteisme, keadilan sosial, kerakyatan, dan permusyawarahan (hlm. 135-146).
Meskipun gagasan brilian Buya Maarif telah meluncur jauh menyasar denyut dan jantung keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, tetapi tetap saja terkadang menuai kritik yang cukup pedas bahkan caci maki, termasuk dari kelompoknya sendiri, Muhammadiyah. Ia oleh sebagian tokoh Muhammadiyah dinilai sebagai tokoh yang keblinger kerana ketidak setujuannya terhadap syariat Islam dan tentu saja juga negara Islam Indonesia. Lebih jauh lagi, gagasan intelektual muslim jebolan Chicago University, Amerika Serikat ini dinilai tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan “sampah masyarakat” perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan. Konsepsi Buya Maarif tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual.
Terlepas dari perdebatan itu, sebagai bahan renungan, apa yang dilakukan oleh Buya Maarif lewat pemikirannya saat ini, adalah tonggak awal dari benteng Indonesia yang sedang kita bangun. Buya Maarif dalam hal ini telah memulainya dengan menuangkan gagasannya sejak 2 Mei 2006 lalu lewat buku setabal 388 halaman ini. Pencerahan Buya Maarif selalu dinanti banyak kalangan. Diusinya yang cukup senja, pikiran-pikiran jenuin dan jernih yang mengalir bak air dari “guru bangsa” ini diharapkan menjadi secawan optimisme di tengah jibaku bangsa Indonesia yang hingga kini belum jelas arahnya. Kewajiban kita sekarang adalah bagaimana mengawal dan mempertahankan benteng tersebut agar tidak ambruk. Karena demokrasi yang kokoh harus ditopang oleh nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yang kokoh pula.
Akhirnya, karya besar yang selesai pada 9 Februari 2009 ini cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena sepanjang perjalanan bangsa ini, belum ditemukan sebuah karya tulis yang relatif utuh yang membicarakan secara agak mendalam, kritikan, evaluatif, dan kreatif tentang masalah Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Apalagi, penulis buku ini adalah merupakan fenomena baru dalam sentrum intelektualisme Muhammadiyah kontemporer. Ia berhasil mendobrak “kemapanan” dan kepasipan tradisi intelektual di negeri ini. Selamat Membaca!