Minggu, 25 Agustus 2013

Defisit Pemberantasan Kurupsi

Defisit Pemberantasan Kurupsi
Oleh: Imam Muhlis
(Catatan 100 Hari Pemerintahan SBY-Boediono)


Menjelang berakhirnya program 100 hari SBY-Boediono, sebagaimana diberitakan koran ini (Jawa Pos, 20/1) seluruh elemen bangsa mulai tokoh masyarakat, LSM, dan mahasiswa mengupas tingkat keberhasilan pemerintahan SBY-Budiono. Intinya hampir sama, bahwa terapi kejut (shock therapy) program 100 SBY-Boediono semuanya dinilai hanya retorika politik, kurang menggigit dan bahkan banyak yang menilai gagal, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi.
Penilaian itu antara lain datang dari Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2009 merupakan masa suram pemberantasan korupsi. Keadaan suram itu diperparah lagi pada awal tahun 2010 (Jawa Pos, 17/1). Transparansi Internasional Indonesia juga menyebutkan bahwa pada paruh kedua pemerintahan SBY-Boediono sekarang, prestasi dalam pemberantasan koruspi terus mengalami defisit. Kejahatan korupsi yang kian sistemik tidak diimbangi penanganan yang juga sistemik.
Gambaran suram bangsa Indonesia di mata dunia Internasional soal korupsi yang diterbitkan oleh ICW maupun Transrarancy International itu sangat merendahkan harkat dan martabat sebagai sebuah bangsa yang dijuluki bangsa terkorup. Sorotan dunia tersebut secara jujur harus kita akui memang benar karena saat ini kita sedang dalam lilitan mata rantai korupsi bagaikan gurita dan juga mafia hukum termasuk makelar kasus yang telah sedemikian sistemik, membentuk jaringan yang luas dan menangkap segala apapun yang dapat dikorupsikan mulai dari pusat sampai daerah.
Padahal, pada pemerintahan pertamanya 2004-2009, para pengamat menilai bahwa pemerintahan SBY-JK cukup berprestasi dalam perang melawan korupsi. Terbukti, menurut Transparansi Internasional Indonesia, indeks persepsi korupsi Indonesia naik dari 2,6 pada 2008 menjadi 2,8 pada 2009. Peringkat Indonesia pun terdongkrak, dari posisi buncit ke peringkat 5 dari 10 negara ASEAN.
Namun, pada tahun 2009 hingga awal 2010 ini terjadi kenyataan yang sangat memprihatinkan. Indeks Korupsi Pelayanan Publik yang pernah disurvey oleh KPK pada tahun 2009 hasilnya juga menunjukkan bahwa lembaga penegakan hukum seperti Mahkamah Agung dan Polri memiliki skor integritas unit layanan publik yang buruk sebagai akibat maraknya praktik kolusi dan korupsi. Apalagi baru-baru ini kita dipertontonkan secara gamblang sebuah drama Cicak vs Buaya dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK telah menampar wajah hukum dan keadilan kita hingga skandal Bank Century.
Itulah sebabnya, publik hingga saat ini masih meragukan kredibilitas dan integritas lembaga-lembaga penegak hukum dalam menangani kasus korupsi. Keraguan publik itu memang beralasan. Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, mencatat bahwa dari 378 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus pengadilan pada 2009, 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas. Hanya 154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis bersalah. Jadi, upaya melemahkan, menghalangi, dan menggagalkan proses hukum perkara korupsi kini telah merebak dimana-mana. Praktik makelar kasus pun ditengarai juga terjadi dimana-mana dan menjerat leher oknum-oknum penegak hukum.
Dari gambaran kekurangseriusan bangsa ini memerangi korupsi, sebetulnya, masih ada secercah harapan. Paling tidak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan berada di garda terdepan dalam memerangi korupsi. Meskipun perang melawan korupsi tidak cukup hanya dengan pidato, janji-janji, imbauan moral, dan berbagai seremoni anti-korupsi lainnya, yang sangat dibutuhkan justru adalah aksi dan strategi sistematik.
Karena itu, dalam 100 hari pemerintah SBY-Boediono sangat wajar jika di hari yang dijanjikan, ia akan menuai banyak sorotan di saat masyarakat masih meragukan kesungguhan para pemimpin bangsa untuk memerangi korupsi secara sungguh-sungguh. Kehadiran SBY-Boediono sebagai pemimpin dalam pemberantasan korupsi tidak harus takut dan tidak perlu memedulikan risiko seberat apa pun untuk menindak para pelaku koruptor. Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1988) juga mengingatkan, pentingnya pemimpin tertinggi yang berani memulai memerangi korupsi dengan resiko yang cukup berat dan kompleks.
Dalam memerangi korupsi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga bisa bercermin pada langkah Perdana Menteri China Zhu Rongji ketika mendeklarasikan dirinya sebagai pemangku kekuasaan tertinggi untuk pemberantasan korupsi menjelang tahun 2000-an dengan keseriusan dan komitmennya yang tinggi untuk memberantas korupsi.
Di tangan Zhu Rongji, China telah mengalami suasana baru. Birokrasi di Negara Tirai Bambu yang semula tak ubahnya seperti sarang para maling itu, dalam kurun lima tahun, peringkat dua terkorup di Asia telah mereka tinggalkan. Kini China pun dapat melenggang menjadi raksasa ekonomi dunia yang kita lihat sekarang ini. Dan SBY-Boediono tentu saja jangan hanya mengadopsi dan merealisasikan FTA ASEAN-China yang berpotensi mematikan dunia usaha nasional. Soal pemberantasan korupsi pun juga harus mengadopsi pada China.
Kuncinya, SBY harus konsisten seperti China, tidak ada orang dekat, tidak ada rekan pendukung politiknya, tidak ada anak buah dan lain sebagainya. Kalau mereka terbukti korupsi, segera bersihkan dan singkirkan. Tetapi kini tinggal apakah SBY-Boediono mau menggerakkan dan mendukung secara penuh kekuasaan yang ada pada lembaga penegakan hukum, seperti Kejaksaan Agung dan para mitranya (kepolisian, KPK, PPATK, BPK, serta komisi lainnya) ditambah lagi Satgas Mafia Hukum yang baru dibentuk.
Namun, jika impian rakyat tidak tercapai pada masa 100 hari pemerintahan SBY-Boediono dan KIB II, maka rakyat harus selalu mengingat pepatah Lord Acton: Power Tesd to be Corrupt. Tugas rakyat sekarang bukan lagi menunggu godot datangnya “perubahan”, namun memperjuangkan perubahan sesuai dengan yang diinginkannya agar pemberantasan kurupsi tidak mengalami defisit yang sungguh menyengsarakan rakyat. Semoga Tidak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar