05/April/2008
Oleh : Imam Muhlis
Publik yang rajin menyimak dan membaca beberapa tulisan di media massa yang
menyikapi atraksi politik KH. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur yang
kini sedang berseteru dengan ponaannya sendiri—Muhaimin Iskandar—politikus muda
asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang harus rela lengser dari posisi Ketua
Dewan Tanfidz PKB adalah semuanya bermuara pada mendukung sosok Gus Dur, ada
pula yang abu-abu, dan tidak ada sama sekali yang mengkritisi Gus Dur.
Langkahnya yang kadang dianggap aneh tetapi pada akhirnya banyak
orang ikut membenarkan dan mengamini, bahkan ada yang bilang Gus Dir itu
waliyullah. Benarkah demikian? Bukankah Gus Dur juga Manusia? Bukan Nabi maupun
Malaikat yang maksum.
Mari kita sima beberapa tulisan di media massa yang menyikapi sosok Gus Dur
dan konflik PKB. M. Alfan Alfian, misalnya, di harian Kompas (31/03) berjudul
“Gonjang-ganjing Pilitik PKB”, hanya menyikapi seputar konflik dan masih
dominannya figur Gus Dur di internal PKB. Ada yang berjudul “Ayat-Ayat Gus
Dur”, sebagaimana yang ditulis Dhimam Abror, tapi ia lebih memilih
aman yaitu: wallahu a’lam dalam menyikapi konflik Gus Dur dan Muhaimin
Iskandar (Kolom Surya, 30/03). Ada juga tulisan yang bernada mengamini konflik Gus
Dur. Dengan adanya konflik, Gus Dur justru semakin teruji dan terbukti, bahwa
Gus Dur mampu mengatasi setiap konflik tersebut dengan “kemenangan” berada di
pihaknya. Sebagaimana yang ditulis Zudi Setiawan, salah satu Dosen di Universitas
Wahid Hasyim Semarang, dengan judul “Gus Dur, Konflik, dan Kepemimpinan” (Wawasan,
03/04).
Berbeda dengan tulisan Zainul Munasichin, Mantan Ketua DKN Garda Bangsa
Jatim. Ia sedikit agak kritis dalam menyikapi manuver-manuver politik Gus Dur,
terutama konflik di internal partai asuhan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
yang kini sedang meruncing itu. Dalam
tulisan yang berjudul “Neraca Politik Gus Dur”, Zainul memaparkan secara
kronologis konflik politik Gus Dur. Menurutnya, satu-satunya kemenangan politik
Gus Dur dalam enam tahun terakhir ini hanyalah dalam kasus perseteruan PKB
melawan Mathori, Alwi Shihab dan Choirul Anam. Meminjam istilah sepak bola,
semuanya kemenangan kandang. Selebihnya untuk partai tandang Gus Dur bisa
dikatakan kalah total (Surya, 04/04).
Yang lebih menarik lagi adalah tulisan saudara Jabir Alfaruqi di harian Suara
Merdeka (02/03), dengan judul “Dipecat Gus Dur Itu Rahmat”. Manarik karena menurut
sauadara Jabir, sungguh sangat beruntung orang-orang yang selama ini
dekat dengan Gus Dur kemudian ditendang dari sisinya, termasuk di balik
pemecatan Muhaimin Iskandar. Itu semua merupakan rahmat.
Masih menurut sauadara Jabir Alfaruqi, sejumlah
orang dekat atau bahkan disebut-sebut sebagai anak emas Gus Dur yang telah
lebih dahulu dilengserkan, justru sekarang meraih prestasi yang spektakuler dan
banyak partai lain yang berminat untuk melamarnya. Pemecatan Saifullah Yusuf,
misalnya, kini bisa diterima di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), begitu juga
yang dialami Khofifah Indar Parawangsa yang hari ini justru dicalonkan PPP
dalam Pemilihan Gubernur Jatim. Begitu juga dengan nasib Alwi Shihab yang
sekarang menjadi utusan khusus Presiden SBY untuk kawasan Timur Tengah.
Prestasi itu diraih setelah dilengserkan Gus Dur dari PKB.
Pertanyaannya, benarkah di balik pemacatan sejumlah petinggi PKB, mulai
dari Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah
Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan,
dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol—merupakan rahmat dan
mengandung barokah sebagaimana yang diasumsikan para penulis di atas? Bagi para
pendukungnya mungkin itu benar, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur
itu mengandung barokah, bahkan menjadi jimat penyemangat yang cukup ampuh.
Namun tidak demikian bagi para pengkritiknya, Gus Dur justru disebut-sebut
sebagai politisi “semau gue”, yang cenderung otoriter maupun tanpa dasar alias
demokrat dalam tingkat “mulut” tapi tidak dalam laku. Bahkan Gus Dur
dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan PKB dalam melakukan terobosan politik
yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat
Indonesia.
Memang, para pengagum Gus Dur atau Gus Durian selama ini sering kali
menganggap apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur selalu dianggap sesuatu
yang mutlak dan haram untuk dilanggar walaupun petuah politik itu sangat
tendensius berdasarkan kepentingannya, atau like or dislike.
Seperti biasanya, mereka yang membangkang terhadap petuah itu selalu
terancam posisinya, lalu digolongkan sebagai “santri bandel”. Dan siapa yang
tersingkir, tidak ada yang bernyali atau menang dalam menghadapi Ketua Dewan
Syuro PKB Gus Dur (baca: Zudi Setiawan).
Partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu memang unik dalam
memposisikan Gus Dur. Tokoh kharismatik NU tersebut dinilai sama dengan PKB
atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai
AD/ART-nya PKB itu sendiri.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam
keberlanjutan PKB. Dan para Gus Durian pun belum bisa beranjak dari jebakan
“feodalisme” dan figurisme yang menjadi bagian dari kultur NU itu sendiri.
Maklum, orang-orang PKB umumnya orang NU yang berambisi masuk arena politik
dengan membawa atribut budayanya, sebagai sandaran dan orientasi tindakannya
pada figur-figur tertentu.
Pertanyaannya, kondusifkah bagi PKB ke depan apabila kecenderungan
figurisme semacam itu, yang berakhir dengan pemecatan demi pemecatan tetap
dilestarikan? Jelas tidak! Konflik antar pengurus partai politik (parpol)
memang merupakan dinamika biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi karena
berkaitan dengan loyalitas, kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang
konflik antarindividu. Yang tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak
mempunyai mekanisme untuk melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan
konflik—tabayun dalam istilah Nahdatul Ulama (NU).
Karena itu, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat
disayangkan, di samping karena menjalang Pemilu 2009, juga karena kelahirannya
dibidani oleh para tokoh NU yang seharusnya menjadi garda depan dalam
memberikan contoh kehidupan berdemokrasi. Penggusuran Muhaimin Iskandar memang
urusan internal PKB. Tetapi melihat positioning PKB sebagai salah satu
aset kebangsaan, selayaknya mewarisi keluhuran sikap kenegarawanan sebagai
ekspresi yang patut dicontoh oleh rakyat.
Memang, kita sangat memahami bahwa Gus Dur adalah seorang pemikir besar dan
seorang guru bangsa yang kerapkali mengambil langkah yang sulit ditafsirkan
banyak orang. Tetapi, bukankah Gus Dur juga manusia—bisa salah bisa benar.
Demikian pula pencopotan Muhaimin Iskandar, belum dikatahui secara benar
dan pasti, ramai-ramai pada ikut membenarkan dan mengamini Gus Dur. Sekarang,
Gus Dur masih sadang bertarung melawan keponakannya sendiri. Jika Muhaimin yang
benar dan menang, maka saran banyak orang agar Gus Dur kembali ke barak alias
ke pondok pesantren dan lebih berkosentrasi menjadi guru bangsa layak
dipertimbangkan. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar