Oleh: Imam
Muhlis
(Staf Pada
Padepokan Musa Asy’arie “Padma
Jogjatama” Yogyakarta)
“Demokrasi
dikubur atas nama demokrasi (Gatra, 11/12/2008)”. Pernyataan Ahmad
Syafii Maarif ini telah menemukan wujud paling telanjang dalam perjalanan
bangsa dan negara ini. Atas nama demokrasi, nyawa Ketua DPRD Sumatra Utara
Abdul Aziz Angkat harus dikubur (Wawasan, Selasa 3/2). Itulah potret demokrasi
di negeri ini yang berubah menjadi praktik anarkisme demokrasi.
Sejak reformasi
1998 hingga sekarang bangsa ini memang sangat gemar mempertontonkan aksi-aksi
anarkisme, premanisme, dan tindak kekerasan lainnya atas nama demokrasi. Bahkan
perilaku barbarisme itu kian hari kian meningkat dipertontonkan secara atraktif
di ruang publik. Masih segar dalam ingatan kita ketika para elite politik di
Senayan juga pernah menunjukkan perilaku yang memalukan di ruang sidang yakni caci-maki,
bahkan tindakan brutal yang menjurus ke adu-jotos pun dilakukan.
Fenomena tersebut
merupakan cermin gagalnya berdemokrasi di era reformasi setelah cukup lama
terpasung dalam kultur politik otoritarian Orde Baru. Atas nama demokrasi hak orang
lain diperkosa yang sesungguhnya hanyalah cermin nafsu merusak dan membunuh. Demokrasi
sering dimaknai sebagai kebebasan menyampaikan keinginan. Dengan dalih
demokrasi, perilaku kekerasan, keberingasan, dan ingin menang sendiri pun acap
kali dilakukan.
Sungguh
memalukan dan sekaligus memilukan. Bangsa ini kini sama sekali tidak
menggambarkan sosok bangsa yang dikenal sopan-santun, ramah, dan saling
menghargai. Bahkan demonstran seolah-olah sah berperilaku merusak. Demonstrasi
yang sejatinya merupakan instrumen demokrasi dalam sekejab berubah menjadi
malapetaka. Itulah ironi demokrasi yang melahirkan anarki demokrasi.
Masyarakat
dengan mata telanjang menyaksikan sendiri baik melalui media cetak maupun
elektronik yang tergambar justru perilaku kasar dan anarkis dari orang-orang
yang berperilaku garang. Datang dengan nafsu merusak, menghancurkan, bahkan
berambisi membunuh. Sebuah peti mati yang dibawa para demonstran terkait
pembentukan Provinsi Tapanuli, bukan sebagai sindiran bahwa demokrasi terancam mati
total—menyindir para anggota DPRD Sumatra Utara—tetapi benar-benar menuntut
kematian yang mengenaskan.
Peristiwa di
gedung Dewan Sumatra Utara itu benar-benar merupakan peristiwa kelam, yang
tidak saja mengusik ketenangan masyarakat, tetapi tindakan biadab yang meneror
kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak bisa ditoleransi sedikitpun. Bila
dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang merugikan kita semua.
Karena itu,
jangan katakan bahwa peristiwa DPRD Sumatra Utara sebagai harga mahal yang
memang harus dibayar untuk demokrasi. Adalah benar bahwa demonstran mempunyai kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara yang
dilindungi undang-undang. Namun pada saat bersamaan, bukan berarti para
demonstran bebas berbuat sekehendak hati, mengacak-acak gedung pertemuan DPRD,
membubarkan sidang yang sedang berjalan, menghancurkan meja, kursi, bahkan
memukul, mendorong-dorong Ketua DPRD Abdul Aziz Angkat hingga akhirnya
berakibat meninggalnya pejuang nasib rakyat tersebut. Demonstrasi bukan
pembenaran memaksakan kehendak, tetapi cara memperjuangkan kepentingan dengan
“tekanan” yang elegan dan prosedural.
Belajar dari Tragedi Medan
Tragedi DPRD Sumatra
Utara merupakan peristiwa yang tidak saja memalukan bangsa di mata dunia,
tetapi juga pelajaran yang teramat mahal bagi negeri ini dalam “belajar”
berdemokrasi. Kejadian ini harus menjadi bahan instropeksi semua pihak, bagi
mereka yang sering berada di balik kelompok demonstran, aparat kepolisian,
elite politik, dan para anggota DPR/DPRD sendiri.
Bagi institusi kepolisian,
tragedi Medan itu telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa aparat
harus bisa mengurai serta memisahkanya dengan jeli dan jernih antara demokrasi
dan anarkisme dalam rangka pengamanan lembaga negara. Tapi, bukan berarti demi menjaga
lembaga negara dan keselamatan para anggota Dewan justru dibangun pagar tinggi,
yang bisa bermakna memisahkan anggota Dewan dengan rakyat yang mereka wakili.
Keterbukaan itu hendaknya tidak membuat aparat keamanan lalai dan lengah dalam
melindungi penyelenggara negara.
Karena itu,
tugas yang sangat mendesak sekarang bagi aparat kepolisian dan penegak hukum
harus sesegera mungkin menindak para pelakunya. Disebutkan kemungkinan
meninggalnya kader Partai Golkar tersebut karena serangan jantung dan bukan
pengeroyokan atau pemukulan. Tetapi apapun hasil visummya yang jelas
meninggalnya Ketua DPRD Sumatra Utara tersebut tak bisa dipisahkan dari aksi massa
yang begitu tidak manusiawi tersebut. Aksi-aksi semacam itu tidak bisa
ditoleransi sedikitpun. Siapa yang harus bertanggung jawab? Itulah yang harus
segera diselidiki.
Dan yang tak
kalah pentinganya adalah bahwa kejadian brutal dan sadis semacam itu bisa
dijadikan bahan perenungan atau introspeksi bagi semua pihak. Mengapa
masyarakat mudah dibakar emosinya dan berbuat sesuatu yang keji dan kejam. Apakah
ini juga cerminan perilaku pemimpin dan elite-elite kita. Atau setidaknya ada
di antara mereka yang memang menjadi sutradara atau aktor intelektualnya. Karena
sebenarnya elite politik di Senayan pun pernah menunjukkan perilaku “barbarisme”.
Karena itu, menjelang
pesta demokrasi berupa Pemilu 2009 ini hendaknya para calon legislatif dan dan
politikus di negeri ini perlu mengambil hikmah di balik peristiwa tersebut.
Yakni tak boleh lagi main-main dengan persoalan yang menyangkut kehidupan rakyat,
karena akan dapat memicu kemarahan dan mendorong terjadinya aksi brutal semacam
itu. Kendati kita tak bisa membenarkan dan tak boleh membiarkan aksi semacam
itu, langkah preventif dapat dilakukan baik dari segi keamanan maupun
komunikasi terbuka. Jangan sampai DPR/DPRD sekadar mengombar janji dan menjadi
lembaga eksklusif dan bertindak untuk kepentingan elitenya saja. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar