14/08/2009
Oleh: Imam Muhlis**
(Manager Program Akademik Padepokan Musa Asy’arie,
Jogjakarta)
Islam, keindoensiaan, dan kemanusiaan jika masih terus
diperdebatkan, kita justru akan semakin ketinggalan jauh dari bangsa lain di muka
bumi ini. Itulah sepenggal kritik Buya Ahmad Syafii Maarif pada acara bedah
buku, ”Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi
Sejarah” (Mizan, 2009), di Padepokan Musa Asy’arie Jogjakarta, pada 06
Agustus 2009 lalu.
Buya Maarif—panggilan akrab Ahmad Syafii Maarif— tampaknya
merasa risau dan gundah melihat pemikiran dan gerakan kelompok Islam kecil yang
berusaha memisahkan Islam, keindoensiaan, dan kemanusiaan. Menurutnya, sebagai penduduk mayoritas di negeri ini semestinya umat
Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan dan memperdebatkan hubungan tiga entitas
tersebut, sehingga bangsa ini tidak selalu terjebak dan terbenam dalam polemik
yang tak berkesudahan.
Lewat masterpiece ini, Buya Maarif berusaha mencari terobosan-terobosan baru dalam rangka
mensintesakan wawasan keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan untuk
mewujudkan kohesi dengan realitas dan konsepsi Indonesia sebagai ”perumahan”
dengan mengutip pernyataan Jakob Oetama ”yang membuat bagi kehidupan bersama
sebagai bangsa dan negara” (hlm. 307).
Sebagai Guru Besar Ilmu
Sejarah, ia mengkaji tiga entitas tersebut dari perspektif historis dan
mencermati pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik. Kajian secana
doktrinal maupun historis membuahkan suatu pernyataan dari dalam diri mantan orang
nomor wahid di PP. Muhammadiyah ini bahwa ketiga entitas itu haruslah diembuskan
dalam satu napas nyanyian Nusantara, sehingga Islam yang mau dikembangkan di
Indonesia adalah Islam yang ramah, toleran, terbuka, inklusif, dan mampu
memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.
Dilihat dalam perspektif sejarah masa awal, Islam sebagai
pesan langit terakhir dalam rentang waktu relatif singkat telah berhasil
mendapatkan bumi yang beragam penduduk dan kulturnya; sebuah Islam yang dinamis
dan bersahabat dengan lingkungan kultur, subkultur, dan agama kita yang beragam;
sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan
kepada semua orang yang berdiam di bumi Nusantara ini tanpa diskriminasi apa
pun agama yang dianutnya (hlm. 15).
Peta yang
hendak dibangun oleh cendekiawan pengagum Mohammad Hatta ini adalah terciptanya
rasa nyaman dan aman di satu pihak, serta berupaya mendialogkan Islam,
keindonesiaan, dan kemanusiaan agar berjalan seirama dan menyatu saling mengisi
membangun sebuah taman sari khas Indonesia. Bagi murid Fazlur Rahman, Islam Indonesia
diharapkan memberikan dasar-dasar spiritual, etis dan moral bagi pembangunan
nasional, karena Islam dimengerti sebagai ruh dan spirit yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 bahkan mencerminkan nilai-nilai
Islam, seperti monoteisme, keadilan sosial, kerakyatan, dan permusyawarahan (hlm.
135-146).
Meskipun
gagasan brilian Buya Maarif telah meluncur jauh menyasar denyut dan jantung
keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan, tetapi tetap saja terkadang menuai
kritik yang cukup pedas bahkan caci maki, termasuk
dari kelompoknya sendiri, Muhammadiyah. Ia oleh sebagian tokoh Muhammadiyah dinilai sebagai tokoh yang keblinger kerana ketidak setujuannya terhadap
syariat Islam dan tentu saja juga negara Islam Indonesia. Lebih jauh
lagi, gagasan intelektual muslim jebolan Chicago University, Amerika Serikat
ini dinilai tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani
miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan “sampah masyarakat”
perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan. Konsepsi Buya Maarif tentang Islam
sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa
diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang
spiritual.
Terlepas dari
perdebatan itu, sebagai bahan renungan, apa yang dilakukan oleh Buya Maarif
lewat pemikirannya saat ini, adalah tonggak awal dari benteng Indonesia yang
sedang kita bangun. Buya Maarif dalam hal ini telah memulainya dengan
menuangkan gagasannya sejak 2 Mei 2006 lalu lewat buku setabal 388 halaman ini.
Pencerahan Buya Maarif selalu dinanti banyak kalangan. Diusinya yang cukup
senja, pikiran-pikiran jenuin dan jernih yang mengalir bak air dari “guru
bangsa” ini diharapkan menjadi secawan optimisme di tengah jibaku bangsa
Indonesia yang hingga kini belum jelas arahnya. Kewajiban kita sekarang adalah
bagaimana mengawal dan mempertahankan benteng tersebut agar tidak ambruk.
Karena demokrasi yang kokoh harus ditopang oleh nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan
yang kokoh pula.
Akhirnya, karya besar yang selesai pada 9 Februari 2009 ini
cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam, karena sepanjang perjalanan bangsa
ini, belum ditemukan sebuah karya tulis yang relatif utuh yang membicarakan
secara agak mendalam, kritikan, evaluatif, dan kreatif tentang masalah Islam,
keindonesiaan, dan kemanusiaan. Apalagi, penulis buku ini adalah merupakan
fenomena baru dalam sentrum intelektualisme Muhammadiyah kontemporer. Ia berhasil
mendobrak “kemapanan” dan kepasipan tradisi intelektual di negeri ini. Selamat
Membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar