02/Arpil/2008
Oleh : Imam
Muhlis
[Peneliti pada SCSP, Yogyakarta]
Menarik mencermati tulisan saudara Jabir Alfaruqi di koran ini (Suara
Merdeka, Kolom Wacana, 02/03), dengan judul “Dipecat
Gus Dur Itu Rahmat”. Manarik karena menurut sauadara Jabir, sungguh
sangat beruntung orang-orang yang selama ini dekat dengan Gus Dur kemudian
ditendang dari sisinya, termasuk di balik pemecatan Muhaimin Iskandar sebagai
Ketua Dewan Tanfidz PKB atau petinggi PKB lainnya. Itu semua merupakan rahmat.
Masih menurut sauadara Jabir Alfaruqi, sejumlah
orang dekat atau bahkan disebut-sebut sebagai anak emas Gus Dur yang telah
lebih dahulu dilengserkan, justru sekarang meraih prestasi yang spektakuler dan
banyak partai lain yang berminat untuk melamarnya. Pemecatan Saifullah Yusuf,
misalnya, kini bisa diterima di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), begitu juga
yang dialami Khofifah Indar Parawangsa yang hari ini justru dicalonkan PPP
dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Begitu juga dengan nasib Alwi Shihab yang
sekarang menjadi utusan khusus Presiden SBY untuk kawasan Timur Tengah.
Prestasi itu diraih setelah dilengserkan Gus Dur dari PKB.
Pertanyaannya, benarkah di balik pemacatan sejumlah petinggi PKB, mulai
dari Matori Abdul Djalil (almarhum), Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, Khofifah
Indar Parawansa, Choirul Anam, Mohammad AS Hikam, Lukman Edy, Eman Hermawan,
dan sejumlah nama lain yang tidak terlalu menonjol—merupakan rahmat,
sebagaimana yang diasumsikan saudara Jabir Alfaruqi? Bagi para pendukungnya
mungkin itu benar, bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur itu
mengandung rahmat dan barokah (baca : Jabir Alfaruqi), bahkan menjadi jimat
yang cukup ampuh.
Namun tidak demikian bagi para pengkritiknya, Gus Dur justru disebut-sebut
sebagai politisi “semau gue”, yang cenderung otoriter maupun tanpa dasar alias
demokrat dalam tingkat wacana tapi tidak dalam tindakan. Bahkan Gus Dur
dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan PKB dalam melakukan terobosan politik
yang strategis dan spektakuler untuk menarik simpati mayoritas rakyat
Indonesia.
Memang, para pengagum Gus Dur atau Gus Durian selama ini sering kali
menganggap apa yang dikatakan dan dilakukan Gus Dur selalu dianggap sesuatu
yang mutlak dan haram untuk dilanggar walaupun petuah politik itu sangat
tendensius berdasarkan kepentingannya, atau like or dislike.
Seperti biasanya, mereka yang membangkang terhadap petuah itu selalu
terancam posisinya, lalu digolongkan sebagai “santri bandel”. Dan siapa yang
tersingkir, tidak ada yang bernyali atau menang dalam menghadapi Ketua Dewan
Syuro PKB Gus Dur.
Partai berlambang bola dunia dan bintang sembilan itu memang unik dalam
memposisikan Gus Dur. Tokoh kharismatik NU tersebut dinilai sama dengan PKB
atau sebaliknya. Atau, pada tingkat tertentu, Gus Dur dapat dikatakan sebagai
AD/ART-nya PKB itu sendiri.
Barangkali, memang demikianlah realita politik PKB sekarang, bahwa Gus Dur tetap menjadi faktor dominan dalam
keberlanjutan PKB. Dan para Gus Durian pun belum bisa beranjak dari jebakan
“feodalisme” dan figurisme yang menjadi bagian dari kultur NU itu sendiri.
Maklum, orang-orang PKB umumnya orang NU yang berambisi masuk arena politik
dengan membawa atribut budayanya, sebagai sandaran dan orientasi tindakannya
pada figur-figur tertentu.
Pertanyaannya, kondusifkah bagi PKB ke depan apabila kecenderungan semacam
itu, yang berakhir dengan pemecatan demi pemecatan tetap dilestarikan? Jelas
tidak! Konflik antar pengurus partai politik (parpol) memang merupakan dinamika
biasa dalam kehidupan parpol. Boleh jadi karena berkaitan dengan loyalitas,
kesetiaan, kinerja, hingga friksi berlatar belakang konflik antarindividu. Yang
tak biasa dan mencemaskan manakala partai tidak mempunyai mekanisme untuk
melakukan institusionalisasi ataupun pelembagaan konflik—tabayun dalam
istilah Nahdatul Ulama (NU).
Karena itu, konflik di internal PKB saat ini oleh banyak pihak sangat
disayangkan, di samping karena menjalang Pemilu 2009, juga karena kelahirannya
dibidani oleh para tokoh NU yang seharusnya menjadi garda depan dalam
memberikan contoh kehidupan berdemokrasi. Penggusuran Muhaimin Iskandar memang
urusan internal PKB. Tetapi melihat positioning PKB sebagai salah satu
aset kebangsaan, selayaknya mewarisi keluhuran sikap kenegarawanan sebagai
ekspresi yang patut dicontoh oleh rakyat.
Keluar Dari Feodalisme
Ada beberapa hal yang mesti dikritisi menyangkut watak dan tradisi politik
internal PKB yang selama ini justru menjadi masalah dan menghambat menuju
parpol yang berwatak inklusif dan demokratis. Pertama, PKB harus berani
mensponsori peralihan kecenderungan budaya politik yang masih terpaku pada
budaya patronase atau “kiai-santri”.
Kedua, PKB hendaknya berani keluar dari jebakan feodalisme dan
figurisme. Artinya, kepemimpinan tradisional yang mengandalkan tipe karisma,
yang terlalu bergantung pada Gus Dur, secara bertahap perlu dikurangi. Cairnya
tradisi feodalisme, juga dapat memberi peluang pada proses pergerakan menuju
parpol yang modern, terbuka, egaliter dan populis.
Transformasi gaya kepemimpinan tradisional ke modern sangat diperlukan agar
PKB di masa depan dapat bersaing dengan parpol-parpol lain. Apalagi partai yang
mengandalkan warga nahdliyin sebagai konstituen utamanya ini dimungkinkan akan
menghadapi kompetitor yang tidak ringan dari Partai Kebangkitan Nasional Umat
(PKNU) yang juga menyandarkan diri pada basis pemilih yang sama. Di sisi lain,
kesadaran politik warga nahdliyin kini kian meningkat dan mereka jelas tak mau
dijebak atau terjebak oleh parpol yang tak mengedepankan dimensi rasionalitas
dalam pengelolaan parpolnya termasuk pengelolaan konflik di tubuh partai.
Memang, kita sangat memahami bahwa Gus Dur adalah seorang pemikir besar dan
seorang guru bangsa yang kerapkali mengambil langkah yang sulit ditafsirkan
banyak orang. Langkahnya kadang dianggap aneh namun pada akhirnya banyak
orang ikut membenarkan dan mengamini. Demikian pula dampak dari
pencopotan Muhaimin Iskandar, tokoh sekaliber Gus Dur tentu sudah tahu
dan menghitung untung ruginya bagi PKB. Namun problemnya bukan di situ, tapi
persoalannya adalah terletak pada ketidakpercayaan rakyat terhadap partai
tersebut karena tidak mewariskan keluhuran berpolitik, kecerdasan membangun
citra, serta menempatkan diri sebagai bagian dari elemen penting pendidikan
politik rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar